Sunday, August 27, 2006

US Troops to Assist with Tokyo Quake Disaster Drill

U.S. troops to assist with Tokyo quake disaster drill

The Yomiuri Shimbun

U.S. forces stationed in Japan will, for the first time, take part in an earthquake disaster drill to be held by the Tokyo metropolitan government on Sept. 1--Disaster Prevention Day--it was decided Friday.
The U.S. forces cooperated in conducting relief activities for the 2004 Niigata Prefecture Chuetsu Earthquake and the 1995 Great Hanshin Earthquake, but Sept. 1 will mark the first time they have dispatched their units and ships to a local government disaster drill.
The drill will be based on a scenario that a large earthquake has occurred under a heavily populated area of Tokyo, leaving many people unable to return home.
The metropolitan government exercise will be held at the same time as joint drills organized by Tokyo and seven local governments around Tokyo. The main drill venue will serve as the central venue for all of the exercises.
Prime Minister Junichiro Koizumi also will participate in the joint exercise.
Tokyo Gov. Shintaro Ishihara, who requested the participation of the U.S. Army, said it would be a good idea to utilize the ability of the U.S. forces because the facility is located nearby.
The main drill will focus on determining the best way to direct victims away from the disaster zone. If a quake hits Tokyo, about 5 million people, including tourists, are expected to find themselves stuck in disaster areas and unable to get home.
The metropolitan government has prepared a plan to transfer the elderly and children to nearby prefectures by sea when other means of transportation are paralyzed and public transportation routes, such as trainlines and subways, have been made impassible. In the upcoming exercise, it will practice this plan by transporting victims by river and sea.
For the exercise, the U.S. Army will dispatch a vessel to Tokyo Port from the Yokosuka Naval Base in Kanagawa Prefecture. Thirty metropolitan government officials, posing as victims, will be taken on board and transported to Yokosuka.
Two helicopters from the Yokota Air Base in western Tokyo, will deliver relief materials, such as medicines, to a drill venue in Adachi Ward and the U.S. Army's temporary heliport at the Akasaka Press Center in Minato Ward, both in Tokyo.
A metropolitan government official in charge of the exercise said: "If a major earthquake hits directly below a populated area of Tokyo, firefighters and the Self-Defense Forces won't be able to deal [with all of the victims]. So we'll request logistic support from the U.S. forces."
If a strong earthquake hits Tokyo, securing the city's central functions for administration and business would become a major issue.
In September's drill, central bank Gov. Toshihiko Fukui will, for the first time, report to Koizumi about the situation of settlement function via a wireless videoconferencing system that connects the Bank of Japan headquarters with the government's disaster headquarters.

Tuesday, August 22, 2006

Jepang Cepat Belajar

Kompas 16 Agustus 2006

Jepang Cepat Belajar

Ternyata Jepang dan Indonesia adalah serupa tapi tak sama. Keduanya sama-sama rentan terhadap gempa. Hanya saja, bedanya Jepang relatif mau belajar agar lebih siap menghadapi gempa dibandingkan Indonesia.
Ketika membangun rumah dan menata perabot rumah atau kantor, orang Jepang selalu mempertimbangkan kalau gempa tiba-tiba terjadi.
Dengan demikian, segalanya dipersiapkan untuk memperkecil risiko. Begitu pula prosedur operasional standar (SOP) bagi setiap warga Jepang saat menghadapi gempa diperkenalkan di sekolah-sekolah maupun media massa. Anak TK dan SD pun paham langkah-langkah saat terjadi gempa, seperti berdiam di bawah meja dengan tangan dan bantal di atas kepala.
Tentu itu adalah hasil proses belajar dari pengalaman gempa dari tahun ke tahun. Pada tahun 1923 terjadi gempa yang menewaskan 140.000 orang di Tokyo dan Yokohama. Pada tahun 1995, Kobe digoyang gempa berkekuatan 7,3 skala Richter (SR). Menurut The Great Hanshin-Awaji Earthquake Statistics and Restoration Progress 2005, korban yang terluka parah 14.678 orang, 4.571 orang tewas, 7.500 gedung terbakar, 85 persen sekolah rusak, dan sekitar 222.127 orang dievakuasi. Sembilan tahun kemudian, 23 Oktober 2004, salah satu provinsi di Jepang, Niigata, juga terkena gempa berkekuatan di atas 6 SR. Akibatnya, 40 orang meninggal, 7.100 rumah hancur, 3.100 fasilitas publik rusak, dan lebih dari 100.000 orang dievakuasi (the Japan Journal, 2004). Bagaimana kita belajar dari mitigasi bencana gempa di Jepang?
Ada beberapa aspek dalam menangani gempa di Jepang. Pertama adalah langkah penyelamatan. Di Kobe, sekitar 90 persen penyelamatan warga yang terperangkap puing dilakukan oleh warga sendiri. Polisi, tentara, dan pemadam kebakaran tentu berperan penting meski dalam porsi yang lebih kecil. Artinya, masyarakat merupakan kekuatan utama dan efektif dalam penyelamatan tersebut sehingga hubungan sesama manusia menjadi tak ternilai harganya.
Dalam gempa Kobe, pada hari pertama terdapat 20.000 relawan dan meningkat menjadi 1,3 juta dalam tiga bulan. Mereka membersihkan puing-puing gempa, menjembatani antara pemerintah dan korban, menyediakan makanan, dan lain sebagainya. Banyaknya relawan juga membawa masalah karena tidak semua relawan punya pengalaman dan keahlian. Akan tetapi, nilai kesetiakawanan itulah yang diapresiasi sehingga tahun 1995 disebut sebagai tahun kesetiakawanan.
Kedua adalah rekonstruksi. Gempa Kobe yang dikenal sebagai ”The Great Hanshin-Awaji Earthquake” mendorong pemerintah mengeluarkan Hyogo Phoenix Plan pada Juli 1995, yang tidak saja mengembalikan infrastruktur dan pelayanan sebagaimana sebelum gempa. Lebih dari itu, mereka berorientasi pada creative reconstruction yang diarahkan untuk memenuhi kebutuhan era baru dan masyarakat matang (drive to maturity) melalui partisipasi warga. Langkah pertama pemerintah adalah mengundang warga mendiskusikan proyek rekonstruksi fisik. Baru pada tahap kedua berfokus pada sosial-ekonomi.
Seperti diungkap The Great Hanshin-Awaji Earthquake Statistics and Restoration Progress 2005 pada tahun 1997, pemerintah menetapkan Rencana Rehabilitasi Sosial Ekonomi yang diawali dengan kampanye Catch the Spirit Kobe untuk mengembalikan kepercayaan diri mereka dalam rangka pemulihan secara cepat. Bagi Jepang, semangat kebersamaan untuk membangun Kobe yang hancur adalah modal yang amat vital. Meskipun demikian, mereka pun punya rencana jangka panjang yang tertuang dalam Kobe 2010 Comprehensive Civic Welfare Plan. Rancangan jangka panjang ini bertujuan membangun kota berbasis kemandirian dan kerja sama yang saling menguntungkan antara pemerintah, warga, dan swasta.
Program ini lalu diimplementasikan melalui sejumlah proyek, misalnya proyek skema people-friendly urban development dalam perspektif anak-anak. Pembangunan arena dan fasilitas bermain anak-anak dilakukan secara komprehensif.
Ketiga adalah penyiapan keselamatan warga. Mereka sadar, lambatnya langkah Pemerintah Kobe pada saat bencana itu disebabkan lemahnya sistem komunikasi darurat. Maka, agenda nasionalnya adalah mempersiapkan jaringan komunikasi yang lebih baik di saat-saat darurat. Ketika Niigata dihantam gempa pada 2004 lalu, dalam tujuh menit tentara Jepang sudah bertindak dan 36 menit kemudian bergerak mengumpulkan informasi. Pemerintah provinsi lainnya, seperti Hyogo, langsung mengirim ahli pemulihan gempa, pembangunan perumahan darurat, menilai tingkat bahaya rumah yang rusak, menyediakan tim kesehatan, serta pelayanan spiritual dan psikologi. Pada level masyarakat, Pemerintah Kobe mendorong adanya komunitas pencegahan bencana di mana warga dilatih untuk siap setiap saat ketika terjadi gempa. Salah satu instrumennya adalah terbitnya buku manual langkah-langkah saat gempa terjadi. Buku berisi petunjuk praktis melalui gambar dan bahasa yang mudah dipahami itu dibagikan ke seluruh warga dan anak-anak sekolah. Begitu pula pelatihan dan penguatan jaringan antarwarga dalam kesiapan menghadapi gempa. Pada level pemerintah, disahkan serangkaian peraturan daerah yang mendorong terciptanya keselamatan warga Kobe, pembangunan jaringan informasi dan komunikasi, membangun pusat manajemen krisis, serta pusat pengumpulan data 24 jam. Dari sekitar 640 jenis kebijakan untuk pemulihan Kobe, pemerintah menciptakan Indeks Kebahagiaan Warga (Citizen-Happines Index) untuk memantau sejauh mana hasil dari kebijakan-kebijakan tersebut.
Keempat, pengembangan pusat riset, baik oleh universitas maupun pemerintah. Di Kyoto University ada Research Center for Disaster Reduction System. Ada juga Disaster Reduction and Human Renovation Institution (DRI) milik pemerintah prefektur (baca: provinsi) Hyogo. DRI mengembangkan riset-riset serta ”museum” yang memberikan layanan informasi seputar gempa. Bahkan DRI mengadakan pelatihan bagi seluruh pemerintah daerah dalam membangun jaringan penanganan gempa. Saat ini DRI tengah mengembangkan program internasional melalui International Disaster Prevention and Reconstruction Center yang tugasnya melatih, dengan mengirim para ahli teknis untuk meneliti dan memberi solusi penanganan gempa melalui sistem ”One Stop Service”.
Dari semua uraian di atas jelaslah bahwa Jepang tidak menerima begitu saja kondisi negerinya yang demikian rawan bencana. Mereka dengan cerdas belajar dari kondisi lokal demi membangun masa depan yang lebih sejahtera dan membahagiakan warganya.

Arif Satria Kepala Divisi Pemberdayaan Masyarakat Pesisir PKSPL IPB; Alumnus Kagoshima University Jepang

Monday, August 21, 2006

Korban Gempa Yogyakarta Tuntut Bagi Rata Dana Bantuan


Korban Gempa Yogyakarta Tuntut Bagi Rata Dana Bantuan

YOGYAKARTA, SELASA--Ratusan warga korban gempa berunjuk rasa di kantor Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Selasa siang, menuntut bagi rata dana bantuan Rp749 miliar dari pemerintah pusat untuk membiayai pembangunan rumah yang rusak.
Pengunjuk rasa yang tergabung dalam forum Suara Warga Korban Gempa Yogyakarta meminta pemerintah untuk memahami kondisi warga korban gempa saat ini yang masih tinggal di tenda atau rumah sementara.
Pemerintah perlu mengedepankan aspirasi warga korban gempa, dan pemerintah yang baik adalah yang selalu menjadikan kebijakan yang diambil sebagai wujud dari kehendak rakyat. "Itulah pemerintah yang bercermin di kalbu rakyat," kata Suparji, koordinator pengunjuk rasa.
Melalui orasinya, para pengunjuk rasa bertekad untuk tetap bersatu padu dalam derita akibat bencana gempa. "Kami tidak ingin terpecah belah, dan penderitaan akibat musibah ini kami hadapi bersama," ungkap mereka.
Kata Suparji, tekad mereka untuk tetap bersatu padu menghadapi segala rintangan dalam memperjuangkan hak sebagai korban gempa, disimbolkan dengan sapu lidi yang mereka bawa pada unjukrasa itu. Ia juga mengatakan warga korban gempa mulai resah setelah mendengar kabar bahwa pemerintah akan mengucurkan dana bantuan Rp15 juta per rumah warga yang roboh atau rusak, hanya sekitar 20 persen dari seluruh rumah yang roboh atau rusak akibat gempa di DIY. "Yang 80 persen lagi belum ada kepastian kapan diserahkan bantuannya," ujarnya.
Kabar tersebut, menurut dia, menimbulkan kecemasan di kalangan warga korban gempa, dan ia pun khawatir apabila kebijakan pengucuran bantuan seperti itu benar-benar dilakukan, akan timbul kecemburuan antarwarga korban gempa, dan bisa memunculkan konflik horisontal di masyarakat.

Saturday, August 19, 2006

Indonesia Wilayah Rawan Bencana Alam

Kompas 20 Agustus 2006

Indonesia Wilayah Rawan Bencana Alam
JAKARTA, SABTU--Indonesia merupakan wilayah rawan berbagai bencana alam, apalagi karena wilayah Nusantara berada di jalur vulkanik (ring of fire) yang berisiko letusan gunung api, sekaligus tumbukan dan patahan lempeng bumi.
"Namun dibanding dengan banyak negara lain Indonesia jauh lebih beruntung," kata Kabid Geodinamika, Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal), Cecep Subarya di Jakarta, Sabtu (19/8). Indonesia yang berada di sekitar ekuator, ujarnya, beruntung tidak termasuk wilayah yang biasa digulung topan badai seperti halnya AS, dan lain-lain yang jika badai itu datang tak ada yang bisa menghentikan kehancuran yang diakibatkannya.
Bencana di Indonesia, lanjut dia, kebanyakan juga akibat kelalaian manusia sendiri, seperti banjir, longsor, kekeringan, atau kebakaran hutan. Porsi bencana yang diakibatkan cuaca, seperti banjir, longsor, kekeringan, kebakaran hutan hingga topan, menurut dia, mencapai 55 persen dibanding bencana lain, sementara bencana akibat gempa hanya menyita 7,5 persen.
Gempa, diakuinya, meski jarang yang berskala besar, apalagi yang sampai menimbulkan tsunami, namun menghancurkan dan menimbulkan banyak korban.Tetapi, ujarnya, korban gempa kebanyakan karena tertimpa bangunan karena itu yang seharusnya dibenahi dengan serius adalah bangunan yang disesuaikan standar skala gempa yang mungkin terjadi di suatu daerah atau building code.
Selain itu, untuk daerah rawan tsunami seperti pesisir pantai yang landai, seharusnya ada aturan yang ketat sejauh apa bangunan hunian boleh didirikan dari garis pantai, ujarnya.
Sebelumnya Cecep mengatakan, Indonesia berada di jalur vulkanik yang berarti juga berada di kerak bumi yang aktif dimana tiga hingga lima lempeng bumi bertemu, Sulawesi yang bentuknya unik (huruf K) merupakan bukti dinamisnya pergerakan itu. "Kedinamisan gerakan itu bisa dilihat dari lempeng India-Australia yang bergerak ke utara 70mm per tahun menghujam ke lempeng Eurasia di utara-barat lautnya, sedangkan lempeng Pasifik di timur laut bergerak ke selatan 110mm per tahun," katanya.
Ia menambahkan, sejak gempa Aceh pada Desember 2006 yang letaknya di triple-junction antara Lempeng Eurasia, India, dan Australia, dasar laut di sekitar episentrumnya naik 20-30 meter.

Korban Tsunami Desak BRR Bangun Tanggul Pengaman Pantai

http://www.republika.co.id/online_detail.asp?id=261326&kat_id=23
Korban Tsunami Desak BRR Bangun Tanggul Pengaman Pantai

Banda Aceh-RoL -- Warga masyarakat korban bencana alam gempa bumi dan tsunami di Kecamatan Meuraxa, Banda Aceh, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) mendesak Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) untuk segera membangun tanggul pengaman pantai.
"Kami mendesak agar BRR segera membangun tanggul pengaman air laut di sepanjang pantai, sehingga pada saat pasang purnama kondisi desa setempat aman dari air pasang. Sudah hampir dua tahun rencana pembangunan tanggul ini disampaikan, namun belum terwujud," kata sejumlah tokoh masyarakat desa Lampaseh Aceh di Banda Aceh, Sabtu. Program pembangunan tanggul pengaman di desa Lampaseh Aceh sudah direncanakan sejak tahun 2005, namun sampai Agustus ini belum dilaksanakan. Rencana pembuatan tanggul pengaman air asin di kawasan desa Lampaseh Aceh sepanjang 1,000 meter sudah dilaporkan ke BRR pertengahan tahun 2005. Ketika itu, kata Kepala Desa Lampaseh Aceh Syahrul Nagor, BRR berjanji akan segera membangun tanggul pengaman tersebut. Bahkan, ketika Kepala BRR Kuntoro Mangkusubroto berkunjung ke Lampaseh Aceh juga sudah dilaporkan, namun belum juga dilaksanakan, katanya. "Warga masyarakat kami sudah lelah, setelah melaporkan melalui surat serta lisan belum ditanggapi dalam bentuk aksi nyata. Kami juga sudah melaporkan kepada DPRD dan diberitakan, tapi nasib tanggul pengaman yang sangat didambakan warga juga belum terwujud," kata Kades Syahrul. "Kami mengharapkan program pembangunan tanggul pengaman air laut ini dapat segera dilaksanakan agar masyarakat tidak kuatir saat pasang purnama melanda desa Lampaseh Aceh," katanya sambil menambahkan, sejatinya BRR bekerja cepat menangani persoalan yang dihadapi korban tsunami. Masyarakat korban tsunami Lampaseh Aceh sudah berupaya membangun tanggul darurat secara swadaya. Warga yang berdomisili di sepanjang pantai selalu kuatir air laut merembes ke rumahnya karena belum dibangun tanggul penahan yang permanen, katanya. "Kami mengharapkan agar berbagai program yang sudah diajukan masyarakat desa Lampaseh Aceh dapat segera dilaksanakan sehingga korban tsunami desa ini tenteram dan sejuk hati nurani. Saya kira Kepala BRR Kuntoro Mangkusubroto ikut mendengar aspirasi korban tsunami desa kami," katanya. antara/mim



-->

Tuesday, August 08, 2006

Sekitar Tsunami

dari website PPI Kyoto
http://ppi-kyoto.japati.net/

Tsunami
Tsunami mungkin merupakan kata-kata yang familiar untuk anak-anak sampai dewasa di Indonesia sekarang ini. Tsunami berasal dari bahasa Jepang, tsu berarti pelabuhan dan nami adalah gelombang, jadi artinya gelombang yang terjadi di pelabuhan. Ilmuwan umumnya mengartikan tsunami dengan “gelombang pasang” (tidal wave) atau dikenal dengan sebutan seismic sea wave (gelombang laut karena gempa).

Tsunami dapat dibangkitkan oleh :1.Gempa bumi di laut.2.Meletusnya Gunung Berapi di laut.
3.Proses longsoran di laut.
4.Tumbukan benda langkit (meteor,asteroid) yang jatuh di laut.
Adapun syarat - syarat terjadinya gempa bumi yang menimbulkan tsunami :
1.Sumber gempa terjadi di bawah laut.
2.Gempa dengan kekuatan magnitudo > 6.5 Mw.
3.Gempa dengan kedalaman dangkal (Kedalaman < 30 km).
4.Deformasi / pergeseran bidang gempa nya vertikal (bukan strike slip).
Jadi tidak semua gempa bumi yang terjadi di laut dapat menimbulkan tsunami. Tinggi gelombang tsunami di lepas pantai (dekat sumber nya) bisa kurang dari 1 meter. Tapi pada saat mencapai pantai tinggi gelombang bisa mencapai lebih dari 5 meter. Kecepatan gelombang tsunami di tengah laut (dekat sumber nya) bisa mencapai 900 km/s (Mirip dengan kecepatan pesawat GARUDA A-330 yang biasa kalau kita pakai pulang ke Indonesia), tetapi ketika mencapai pantai kecepatan nya mulai berkurang menjadi sekitar 10 s/d 30 km/s ( Persamaan fisika sederhana, , v adalah kecepatan rambat gelombang, g adalah percepatan gravitasi 10 m/s2, dan h kedalaman laut). Jadi kecepatan gelombang tsunami berbanding lurus dengan faktor akar kedalaman dari laut.
Sampai saat ini, tidak ada satupun ahli di dunia yang dapat memprediksikan dengan tepat kapan dan dimana terjadi nya tsunami. Tetapi usaha dan studi mengenai tsunami terus dilakukan oleh ilmuwan dari berbagai disiplin ilmu.
Sejak 1990 di Indonesia sedikitnya telah terjadi tsunami 16 kali. Baru-baru ini terjadi tsunami di sepanjang pantai selatan Jawa meliputi Cipatujah, Pangandaran, Cilacap dan Kebumen yang menwaskan sekuarang kurang nya 500 orang dan menimbulkan kesengsaraan bagi jutaan warga lainnya.
Diantara gelombang tsunami yang pernah tercatat di Indonesia:
26 Desember 2004, gempa bumi paling kuat dalam masa 40 tahun terakhir yang menimbulkan gelombang besar menewaskan sekitar 200 ribu di sekitar lima Negara kawasan Asia. Wilayah Aceh merupakan daerah yang paling terkena rusak parah karena dekat dengan hiposenter gempa.
19 Agustus 1997 terjadi di Sumba dengan korban 189 orang
12 Desember 1992 di Flores dengan korban 2100 orang
Tahun 1994 terjadi di Banyuwangi dengan korban 209 orang.
27 Agustus 1883, ledakan gunung berapai Krakatau menimbulkan gelombang tsunami besar yang menyapu kawasan-kawasan pantai ujung pulau Jawa dan Sumatera, yang menewaskan kira-kira 36.000 jiwa.
17 Juli 1998, gempa bumi lepas pantai menyebabkan gelombang besar yang menghantam kawasan utara pantai Papua Nugini, menewaskan kira-kira 2000 orang dan menyebabkan ribuan warga kehilangan tempat tinggal.

Monday, August 07, 2006

Deklarasi Tsunami ASEAN

http://www.thejakartapost.com/tsunami_declaration.asp

Tsunami Declaration
August 08, 2006


Jakarta tsunami aid summit's declaration Thursday, January 6, 2005 The special ASEAN leaders' meeting held in Jakarta on Thursday issued a declaration on action to strengthen emergency relief, rehabilitation, reconstruction and prevention on the aftermath of eathquake and tsunami disaster.
The full text of the declaration is as follows:
We, the Heads of State/Government, Special Envoys and Heads of regional as well as international organisations, who gathered on 6 January 2005 in Jakarta, Indonesia, expressed solemnly our profound sorrow and our solidarity to overcome the unprecedented catastrophe befalling the Indian Ocean rim countries on 26 December 2004.
This unprecedented devastation needs unprecedented global response in assisting the national governments to cope with such disaster. This would entail efforts in emergency relief, rehabilitation, and reconstruction that may take five to ten years, with resources that cannot be borne by any individual country.
We deeply appreciate the generous contribution and assistance offered by many countries and the overwhelming expressions of support and assistance from governments, non-governmental organisations and citizens of the world at large.
We applaud the leading role of the affected countries in addressing this disaster, and we recognise the role of the United Nations in assisting the affected countries' coordination of international assistance at the emergency relief phase.
We underlined the need to coordinate better and ensure that those contributions would be effective and sustainable, to truly address the suffering of the victims and to prevent such calamity from recurring.
We expressed our continuing commitment to assist the affected countries and their peoples in order to fully recover from the catastrophic and traumatic effects of the disaster, including in their mid and long-term rehabilitation and reconstruction efforts.
To these ends, we agreed to:
1. Emergency Relief
a. Urgently mobilise further additional resources to meet the emergency relief needs of victims in the affected countries.
b. Request the United Nations to mobilise the international community to support the national relief emergency programmes in the affected countries, and, welcomed in this regard, the Flash Appeal by the United Nations. In this connection, further request the United Nations to appoint a Special Representative of the UN Secretary General for the above purpose; to convene an international pledging conference for the sustainability of humanitarian relief efforts; and to explore the establishment of “standby arrangement” at the global level for immediate humanitarian relief efforts.
c. Strengthen coordination and cooperation of the national, regional and international relief efforts, to ensure effective and immediate distribution of the assistance.
d. Support the efforts of the affected countries, as national coordinators, to ensure an effective channeling and utilisation of assistance as offered by donor countries, international organisations and non-governmental relief organisations.
2. Rehabilitation and reconstruction
a. Support and emphasize the importance of national rehabilitation and reconstruction programmes given the devastation of the basic infrastructures and services in the affected countries. The reconstruction and rehabilitation phase should link seamlessly with the humanitarian relief efforts.
b. Call on the international community, in particular the donor countries, the World Bank, the Asian Development Bank, the Islamic Development Bank, European Investment Bank, and related international financial institutions to provide the necessary fund for the viability and sustainability of those programmes.
c. Establish a partnership, upon the request and the leadership of the country concerned, involving donor countries and regional as well as international financial institutions, to support the respective national programmes of the affected countries.
d. Welcome the initiative of several countries on the moratorium of payments of the external debt of the affected countries to augment their national capacity to carry out the rehabilitation and reconstruction efforts.
e. Promote and encourage private sector participation in and contribution to the rehabilitation and reconstruction efforts.
3) Prevention and Mitigation
Support ASEAN's decision to establish regional mechanisms on disaster prevention and mitigation, inter alia:
The utilisation of military and civilian personnel in disaster relief operation and an ASEAN Humanitarian Assistance Centre, as provided for in the ASEAN Security Community Plan of Action;
ASEAN Disaster Information Sharing and Communication Network, as provided for in the ASEAN Socio-Cultural Community component of the Vientiane Action Programme;
A regional instrument on disaster management and emergency response.
b. Establish a regional early warning system such as Regional Tsunami Early Warning Center on the Indian Ocean and the Southeast Asia region.
c. Promote public education and awareness as well as community participation in disaster prevention and mitigation through inter alia a community based disaster preparedness and early response.
d. Develop and promote national and regional human and institutional capacity, transfer of know-how, technology, and scientific knowledge in building and managing a regional early warning system and disaster management through international cooperation and partnership.
We believe that through concerted efforts, spurred by spirit of compassion and sacrifice and endurance, together, we will prevail in overcoming this catastrophe.

Sunday, August 06, 2006

Simulasi Gempa dan Tsunami di Indonesia


Simulasi Gempa dan Tsunami Diikuti Pemilik Hotel


Liputan6.com, Anyer: Gempa dan tsunami yang terjadi di Tanah Air akhir-akhir ini kembali membuat sejumlah daerah menggelar antisipasi penyelamatan pada Ahad (6/8). Ribuan warga Anyer, Banten, terlihat mengikuti simulasi yang juga melibatkan pemilik hotel. Jajaran Musyawarah Pimpinan Daerah Kota Cilegon dan Pemerintah Kabupaten Serang juga terlihat ambil bagian.
Simulasi yang sama juga digelar di perkampungan nelayan Teluk Panau, Kabil, Batam, atas prakarsa Kepolisian Daerah Kepulauan Riau. Simulasi bermula dari aksi polisi menyebarkan informasi dari Badan Meteorologi dan Geofisika. Setelah membentuk pos koordinasi penyelamatan, polisi mengevakuasi warga.
Warga Solo, Jawa Tengah, tak ketinggalan. Simulai yang digelar Pemerintah Kota Solo dan jajaran Poltabes Solo ini memberikan latihan upaya penyelamatan diri menghadapi bencana alam mengingat Solo termasuk daerah rawan banjir dan gempa bumi.
Simulasi di Dumai melibatkan ribuan warga Dumai, Riau. Selain diikuti sebagian besar warga kota, latihan yang berlangsung di tepi pantai tersebut melibatkan semua kalangan seperti polisi, TNI, dan tim paramedis. Sejumlah anggota polisi dan TNI juga berperan sebagai pasien rumah sakit dan orang cacat yang menyelamatkan diri.
Begitu pula dengan warga di daerah tepi pantai Kabupaten Asahan, Sumatra Utara. Walau pantai Asahan bukan termasuk rawan tsunami namun warga tetap antusias mengikuti latihan ini [baca: Simulasi Tsunami di Berbagai Daerah].(YAN/Tim Liputan 6 SCTV)

Rehabilitation from Tsunami Disaster -Thai Embassy in Japan


http://www.thaiembassy.jp/announcement/tsunami/e-index.htm

Since 27 December 2004, Ambassador of Thailand to Japan received calls by many people, who visited the Embassy to express their sympathies and present donation for damage caused by tsunamis in Southern Thailand along Andaman Sea Area.(more)
Name list of those who have kindly provided assistance and support to damages
Thailand's Tsunami Commemorative Ceremony from natural tragedy to sustainable recovery on 26 December 2005 (read deails>)
December 26, 2005
Tsunami Commemorative Ceremony
Remarks of the ADPC Regional Early Warning System
Opening Remarks Of the Tsunami commemorative Ceremony by PM
December 21, 2005
”Tsunami 2004 Nam Chai Thai”
December 21, 2005
The Nation Special Report
November 30, 2005
Sadao Watanabe visited Phuket
October 07, 2005
The Phuket Charity Night
October 04, 2005
VIP event to mark tsunami anniversary
September29, 2005
The report on the management of donations by the Royal Thai Embassy
September26, 2005
Tsunami early warning arrangements in the Indian Ocean and Southeast Asia
September07, 2005
Dates set for activities commemorating the tsunami
August09, 2005
Thai Tsunami orphans visited the Ambassador
July08, 2005
Art project for healing of Tsunami victims
June30, 2005
Message from Ambassador of Thailand to Japan: Thank you Japanese government and Japanese people for kind assistance on Tsunami rehabilitation and the latest development.
June20, 2005
The report on the management of donations by the Royal Thai Embassy [PDF]
June10, 2005
The report from the Ministry of Interior of Thailand for the rehabilitation of Tsunami affected area [PDF]
June03, 2005
Mental care center in Pang-nga was decollated with pictures of hope


Tsunami hotels status update
Phuket Thailand tourist information
Andaman Magazine Online
Documents From the Ministerial Meetings on Tsunami Early Warning Arrangement

Hutan Mangrove Minimalkan Efek Tsunami

http://www.republika.co.id/online_detail.asp?id=259716&kat_id=23

Hutan mangrove Minimalkan Efek Tsunami

Jakarta-RoL-- Ancaman gelombang tsunami bagi masyarakat pesisir dapat diminimalisir dengan penanaman kembali dan rehabilitasi hutan mangrove yang rapat sehingga tingkat kerusakan di lahan pemukiman dapat ditekan, kata pejabat Balai Konservasi Sumber Daya Alam DKI Jakarta.
"Belajar dari kasus tsunami di Nangroe Aceh Darussalam, tingkat kerusakan akibat gelombang tsunami jauh lebih rendah di kawasan yang hutan mangrovenya tebal," kata Humas dan Perencanaan Program, Balai Konservasi Sumber Daya Alam DKI Jakarta, Departemen Kehutanan, Wulan Pane, di Jakarta, Ahad.
Ia mengatakan, ketebalan mangrove sekitar 1.200 meter dapat mengurangi gelombang tsunami sekitar dua kilometer ke daratan. Selain itu efek tsunami semakin pendek ke daratan pada lahan pesisir dengan kebun ekstensif dan tanaman yang padat.
Oleh karena itu, pihaknya pada 2006 bersama masyarakat di pesisir Pulau Rambut, Muara Angke, Angke Kapuk, dan Pulau Bogor merehabilitasi dan membangun vegetasi perlindungan pantai dengan penanaman mangrove dalam radius minimal sejauh 200 meter dari garis pantai ke arah belakang.
"Tinggi vegetasi antara 10 sampai 15 meter," katanya.
Ia mengatakan, kawasan pesisir sebagai wilayah rawan tsunami mutlak dijadikan zona konservasi yang diarahkan pada pemeliharaan ekosistem padang lamun, terumbu karang, dan mangrove.
Menurut dia, hutan mangrove yang biasanya didominasi tanaman bakau, palem, liana, epifit, dan sikas dapat juga menahan abrasi pantai atau pengikisan daerah pantai akibat gerusan gelombang laut dan juga sebagai tempat memijah ikan konsumsi, misalnya bandeng.
"Fungsi mangrove di sini sebagai peredam gelombang dan angin badai, pelindung abrasi, menahan lumpur dan perangkap sedimen agar tidak longsor," katanya.
Sampai saat ini telah tertanam kembali ekosistem hutan mangrove seluas 40 hektar dari 99,82 hektar total luas kawasan di Pulau Rambut.
Ia mengatakan, sekitar 100.000 pohon mangrove telah tertanam dan tumbuh dengan baik di kawasan itu.
Tingkat keberhasilan penanaman mangrove ditentukan kecocokan lahan dan jenis tanaman. "Jadi sebelumnya harus dilakukan evaluasi lahan untuk mengetahui kesesuaiannya dengan jenis tanaman karena jenis pohon mangrove ada 89 varietas," katanya. antara/pur


-->

Saturday, August 05, 2006

Foto-Foto Hurricane Katrina


Peringatan Jepang Diabaikan


Indo Pos, Rabu, 19 Juli 2006,
Peringatan Jepang Diabaikan
Depsos: 357 Tewas, 229 Orang Hilang

PANGANDARAN - Sejumlah wisatawan asing ikut menjadi korban tsunami di PantaiPangandaran, Ciamis, Jawa Barat, Senin (17/7) lalu. Hingga kemarin, KantorMenko Kesra mencatat, jumlah korban yang telah ditemukan tewas mencapai 341orang dan 229 lainnya masih hilang. Menurut data Departemen Sosial (Depsos),hingga pukul 20.00 tadi malam, jumlah korban tewas 357 orang.Di antara para korban tewas, ada lima warga negara asing. Yaitu, dua wargaArab Saudi dan masing-masing satu orang dari Jepang, Swedia, dan Belgia.Memang, sejumlah kawasan wisata di pinggir pantai ikut dihantam tsunami.Yang terparah adalah wisata kuliner seafood di bibir Pantai Pangandaran,Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. Di area wisata itu, ditemukan 100 korbantewas.Besarnya jumlah korban tersebut seharusnya tidak terjadi. Sebab, sebelumtsunami datang, sudah ada dua lembaga regional yang memberikan peringatankepada pemerintah. Sayang, dua peringatan itu diabaikan.Menteri Riset dan Teknologi (Menristek) Kusmayanto Kadiman mengakui,pemerintah menerima warning dari Pacific Tsunami Warning Center dan BadanMeteorologi Jepang sesaat setelah ada gempa. "Tetapi, kami tidak mengumumkanwarning itu. Kalau tsunami-nya tidak terjadi bagaimana?" kata Kadiman kepadawartawan seperti dikutip AP (Associated Press). Namun, Kadiman menolakmenjelaskan lebih detail tentang hal itu.Peringatan dari dua lembaga tersebut dikirimkan 45 menit sebelum gelombangtsunami datang. Tetapi, tanpa sistem otomatis yang siap, seperti melaluiloudspeaker atau SMS (layanan pesan singkat) yang bisa menjangkau warga atauturis di sekitar pantai, sulit menghindari jumlah korban dalam jumlah besar.Sebetulnya Indonesia memiliki sistem peringatan dini untuk mendeteksi akandatangnya tsunami. Peralatan itu merupakan hasil kerja sama antarapemerintah Indonesia dan Australia. "Tetapi, sistem ini tidak bekerja denganbaik karena tidak ada peralatan pendukungnya. Saat ini, kami terusmengembangkan sistem komunikasi yang baik, terutama di daerah yang rawanbencana," kata Fauzi, pejabat Badan Meteorologi dan Geofisika Jakarta,seperti dikutip AFP.Berdasar laporan Menko Kesra Aburizal Bakrie yang kemarin telah berkunjungke Pangandaran, 341 orang yang meninggal dunia itu tersebar di Jawa Barat,Jawa Tengah, dan DI Jogjakarta. Di Jawa Barat, 182 orang meninggal diCiamis, 54 orang di Tasikmalaya, dan 3 orang di Banjar. Di Jawa Tengah danDIY, 102 orang meninggal, yakni 91 orang di Cilacap, 7 orang di Kebumen, dan4 orang di Gunung Kidul.Selain itu, 229 orang hilang dengan kemungkinan telah meninggal dunia.Yakni, di Ciamis 84 orang, Tasikmalaya 22 orang, Cilacap 73 orang, danKebumen 46 orang. Selain itu, 24 orang menderita luka berat, 58 orang lukaringan, dan 70 orang dirawat di rumah sakit."Sebanyak 23.400 orang mengungsi di Jawa Barat dan 35.239 orang mengungsi diJawa Tengah dan DI Jogjakarta," kata Wakil Presiden Jusuf Kalla mengutipdata yang dilaporkan oleh Menko Kesra Aburizal Bakrie kemarin.Sementara itu, upaya pencarian korban tsunami yang dipicu gempa berkekuatan7,7 skala Richter terus dilakukan. Petugas gabungan mulai membongkarbekas-bekas reruntuhan bangunan. Di sini mereka menemukan mayat-mayatbergeletakan.Seorang warga Swiss, Heff Martin, 26, mengaku masih trauma dengan apa yangbaru dia lihat bersama tunangannya. "Kami hanya punya waktu sekian detikuntuk bisa berpikir jernih dan menggunakan akal sehat menghadapi situasiyang terjadi," katanya.Menurut Martin, saat itu banyak orang berteriak-teriak di luar hoteltempatnya menginap. Salah seorang staf hotel keluar untuk melihat apa yangterjadi. Tetapi, dia kembali dan berteriak, "Ada gelombang, ada gelombang.Lautan datang, lautan datang," kata Martin menirukan staf hotel tadi."Kami langsung berlari menuju ke lantai dua dan sesaat kemudian air pasangitu datang dan menghantam lantai satu hotel kami. Kami lima menit di lantaidua sebelum kemudian naik ke genting dengan membongkar atap," katanya.Agus Sutrisno, kepala Satkorlak Ciamis, mengatakan, ada 1.500 sukarelawanyang diterjunkan untuk mencari mayat dan korban yang masih selamat. "Kamimemperkirakan ada banyak orang yang terkubur reruntuhan. Tetapi, terusterang kami kesulitan peralatan berat seperti truk pengeruk dan gergajimesin," kata Agus.Seorang warga Australia yang berprofesi sebagai guru menceritakan bahwaperingatan dini satu-satunya hanya suara deburan ombak. "Ada suara ombakbergulung-gulung, makin dekat dan semakin dekat. Kami mencoba melihat kejalan dan yang tampak ada air," kata Wayne Proctor, 46.Proctor mengatakan, dirinya beruntung sudah berada jauh dari pantai saattsunami datang. "Kalau kami masih ada di dalam hotel, mungkin kami tewas,"katanya. (fan/noe/ein/ap/afp)

Friday, August 04, 2006

Indonesia Did Not Act on Tsunami Warnings



19 July 2006
Indonesia did not act on tsunami>warnings
By Chris Brummit
INDONESIA received warnings from two regional agencies that Monday's earthquake had the potential to trigger a tsunami, but did not attempt to pass them on to threatened communities, a government minister said.
Science and Technology Minister Kusmayanto Kadiman said Indonesia received bulletins from the Pacific Tsunami Warning Centre and Japan's Meteorological Agency after the quake, but "we did not announce them". "If it (the tsunami) did not occur, what would have happened?" he said to reporters in Jakarta. He did not elaborate.
The warnings were sent around 45 minutes before the tsunami struck. Without an automated system in place to pass them on to villagers via loudspeakers on beaches or mobile phone text messages, the evacuation of significant numbers of people would have been unlikely.At least 340 people were killed in the disaster, officials said yesterday, with more than 600 injured. Nearly 230 others were missing. Hundreds of bodies were recovered today from beaches, homes and hotels ravaged by the second tsunami to hit Indonesia this decade. Corpses covered in white sheets piled up at makeshift morgues, with several others - including a six-month-old baby — lying beneath the blazing sun in the popular tourist resort of Pangandaran. But the search for survivors continued, with parents among the last to give up. "The water was too strong," said Irah, the mother of a six-year-old child as she dug through a pile of rubble with her bare hands, close to the spot where she last saw her son. "Oh God. Eki, where are> you?" "I don't mind losing any of my property, but please God return my son," said Basril, a villager who goes by one name, as he and his wife searched though mounds of rubble at the once idyllic Pangandaran resort on Java island's southern coast. Most of those killed were Indonesians, but a Pakistani, a Swede and a Dutch> citizen were among the dead, local and consulate officials said. At least 42,000 people fled their homes, either> because they were destroyed> or in fear of another tsunami, adding to> difficulties in getting causality> figures.> > Vice President Jusuf Kalla said no warning was> issued locally because most> people fled inland after they felt the earthquake,> fearing a tsunami.> > "After the quake occurred, people ran to the hills> ... so in actual fact> there was a kind of natural early warning system,"> he told reporters in> Jakarta.> > Coastal residents reported that they did not feel> the earthquake.> > At the main regional emergency centre, the Banjar> Public Hospital, doctors> and nurses scrambled to treat a steady stream of> patients — most from the> Pangandaran coast. Some slept on dirty mattresses on> the floor, while others> were treated in the admissions hall amid a bustle of> family members> searching for loved ones.> > Among a handful of foreign patients was Hamed> Abukhamiss, a 40-year-old> Saudi who lost his wife and four-year-old son.> > Enormous waves separated the family as they enjoyed> an afternoon of surfing,> shopping and eating at a Pangandaran waterfront> cafe.> > Mr Abukhamiss, who suffered minor injuries, said he> told himself as he was> repeatedly sucked under the current and battered by> debris: "I'm not going> to give up. I'm not going to die."> > Indonesia was hardest hit by a 2004 tsunami that> killed at least 216,000> people along the Indian Ocean rim — more than a half> of them on Sumatra> island's Aceh province.